MENGGAMBAR DAN MEWARNAI PADA ANAK USIA DINI
MENGGAMBAR DAN MEWARNAI PADA ANAK USIA DINI
Anak usia dini, 3-5 tahun ebagian besar senang menggambar dan melukis. Anak menikmati sekali menuangkan ide dan imajinasinya ke atas sehelai kertas. Aktivitas berekspresinya dimulai dari memegang krayon, merasakan kelembutan tekstur cat, meraba goresan pensil di kertas. Kesemua aktivitas itu akan membawa anak ke dalam dunianya sendiri. Jadi, menggambar merupakan suatu proses kreativitas, bukan sekadar menghasilkan warna saja.
Sering kali terjadi kerancuan justru karena tindakan orang
dewasa yang menganggap bahwa anak usia tersebut belum cukup pandai untuk
menggambar.
Akhirnya,
diberilah buku-buku mewarnai agar si anak mewarnai gambar-gambar yang sudah
tersedia dan terpola dengan bagusnya. Anak diminta mewarnai gambar yang sudah
dibatasi oleh garis-garis batas yang sedemikian rapi dan sempurna. Dampaknya,
anak akan merasa bahwa orang dewasa menggambarnya lebih baik dibandingkan
dirinya. Selain itu, anak juga akan kehilangan daya ekspresif dan
spontanitasnya karena mewarnai semacam itu dapat membatasi pengalaman
kreativitas anak yang tinggi. Akibatnya anak jadi kurang dapat mengekspresikan
diri dan seni. Ia ragu-ragu dan takut menggambar, cenderung menyalin gambar
yang ada dari buku mewarnai dan tidak menampilkan keunikannya sendiri.
Bahkan, penelitian yang dilakukan Dr. Irene Russell, dari
Amerika Serikat menemukan bahwa pembatasan pada kegiatan mewarnai saja dapat
menghilangkan kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka melalui
seni.
1. Hindari Pola
Mewarnai memang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kreativitas. Namun, orangtua tak perlu khawatir bila anak tak suka mewarnai.
Bisa saja orangtua menstimulasinya dengan cara menyediakan berbagai media
mewarnai yang beraneka ragam sesuai usia anak dan juga yang menarik minatnya.
Seperti cat, kapur, lilin, pewarna makanan, spidol warna warni, krayon atau
pensil warna.
Lindungi pakaian anak dengan celemek jika takut kotor.
Daripada menyediakan pola-pola gambar yang baku dan cenderung untuk mendikte
anak mengikuti pola (outline), biarkan anak mengekspresikan warna pada kertas
dengan ruang kosong yang luas. Misal, kertas berukuran besar yang bisa
digambari objek seukuran tubuh anak (anak berbaring di atas kertas dan orangtua
menarik garis lingkar luar di sekitar tubuhnya), untuk kemudian gambar tersebut
diwarnai bersama-sama orangtua.
Bisa juga anak menambahkan sendiri pola gambarnya di ruang
tersebut sehingga anak dapat berkreasi dan mewarnai bebas autonom. Berikan anak
kesempatan menuangkan imajinasinya dan berekspresi sendiri serta
mengomunikasikan dirinya dengan warna-warna yang ada. Jangan paksakan anak
untuk menciptakan warna sesuai "selera" orang dewasa/sesuai apa yang
dilihat oleh "kacamata" orang dewasa.
Anak usia 3-5 tahun mewarnai sesuai dengan apa yang mereka
inginkan. Misal, matahari diberi warna merah, tanah warna kuning, atau awannya
warna pink. Itulah imajinasi seorang anak yang tak akan pernah dirasakan lagi
saat dewasa. Mungkin saja, ketika ditanya anak mengatakan ia mewarnai matahari
seperti itu karena sinarnya sangat panas atau warna pink pada awan menandakan
pelangi yang muncul, dan sebagainya.
Perkembangan mewarnai pun seiring dengan usianya. Contoh,
anak 3 tahun mulai mencoret dengan satu warna, anak 4 tahun sudah
berwarna-warni seimbang dengan gambar; anak 5 tahun sudah menggunakan banyak
warna. Keterlibatan orangtua selama proses kreatif ini amat penting, sehingga
anak berminat untuk berkreasi maksimal. Orangtua bisa mendampingi anak atau
sambil bercengkerama gembira turut menggoreskan warna dengan jari ke kertas.
Anak pasti sangat menikmati proses berkreasi tersebut. Bisa jadi, setelah
goresan awal, si anak akan terpicu menggores lagi dengan warna-warna lain
sehingga terciptalah suatu karya unik milik mereka. Beri pujian atas hasil
gambarnya serta diskusikan pula hasil tersebut dengan anak. Jika perlu, hasil
karya yang paling disukainya ditempelkan di dinding atau diberi bingkai lalu
ditaruh di kamar anak. Lewat proses mewarnai sebetulnya anak belajar mengenai
pengenalan warna-warna.
Pengenalan warna ini dapat merangsang daya pengamatan, daya
imajinasi, serta penyampaian motorik kasar dan halus anak dan mengasah
kemampuan komunikasinya dalam bentuk visual. Anak pun jadi lebih peka terhadap
pengenalan warna, lebih terarah dalam mewarnai, dan terampil memilih kombinasi
warna.
Pada masa prasekolah, menggambar
juga merupakan salah satu cara bagi anak mengomunikasikan imajinasinya. Jadi,
tak masalah jika anak hanya sukanya menggambar saja tanpa mau mewarnainya.
Tetap dukung si anak menuangkan apa yang ada dalam pikiran/imajinasinya menjadi
sebuah bentuk visual. Itulah proses kreatif.
Orangtua hendaknya senantiasa berusaha mengerti gambar apa
yang mereka maksudkan. Jangan bertanya ataupun mengkritik hasilnya supaya anak
tidak kecewa.
Sebetulnya, kemampuan anak dalam menggambar berkembang seiring dengan perkembangan usianya. Di usia 3 tahun, anak menggambar bentuk orang hanya berupa lingkaran besar yang dibubuhi mata, mulut, serta kedua kaki dan tangan yang langsung menempel pada lingkaran tersebut. Saat usia 4 tahun, mulai ada keseimbangan pada gambar; bentuk orangnya kini mempunyai tungkai dan lengan. Di usia 5 tahun gambarnya mulai ada penambahan latar belakang di sekitar objek utama, seperti gambar bunga, matahari, rumput, burung, dan sebagainya.
Sebetulnya, kemampuan anak dalam menggambar berkembang seiring dengan perkembangan usianya. Di usia 3 tahun, anak menggambar bentuk orang hanya berupa lingkaran besar yang dibubuhi mata, mulut, serta kedua kaki dan tangan yang langsung menempel pada lingkaran tersebut. Saat usia 4 tahun, mulai ada keseimbangan pada gambar; bentuk orangnya kini mempunyai tungkai dan lengan. Di usia 5 tahun gambarnya mulai ada penambahan latar belakang di sekitar objek utama, seperti gambar bunga, matahari, rumput, burung, dan sebagainya.
Pada masa prasekolah ini, sebetulnya, belum ada keinginan
anak untuk memberi detail pada gambarnya. Ia belum sadar, bahwa karyanya adalah
sebuah hasil seni. Ia mencoret mengenai apa yang ia inginkan, bukan apa yang
dilihatnya. Apa yang mereka gambar belumlah proporsional sebagaimana gambar
orang dewasa.
Biarkan mereka maju seiring dengan perkembangannya. Stimulasilah
anak untuk tetap mau menggambar. Caranya dengan tidak memaksa anak untuk menggambar
objek dengan realis. Untuk memicu keinginan menggambar dapat dengan
mendongeng/bercerita tentang pengalaman menarik. Apapun hasil karya si anak
senantiasalah puji agar anak termotivasi, merasa bangga dan muncul rasa berprestasi
atas hasil karyanya. Jika orangtua mengkritik, salah-salah malah membuat anak
malas, kecewa, dan takut untuk berekspresi lagi, lantaran merasa gambarnya
tidak komunikatif/dimengerti oleh orang dewasa.
2. Bahasa Rupa Anak
2. Bahasa Rupa Anak
Sering kali terjadi, anak selesai
menggambar malas untuk mewarnai. Begitu pun mungkin sebaliknya, ada anak senang
mewarnai saja dan tidak mau menggambar. Memang, akan lebih baik jika keduanya
mau dilakukan anak. Namun kembali lagi pada definisi "baik" mewarnai
atau menggambarnya dalam konteks apa? Sebab, pembelajaran adalah sebuah input-proses
dan output-hasil. Jadi, jangan menilai dari hasilnya saja. Apalagi nilai
berdasarkan standar orang dewasa. Pertimbangkan input (usia/perkembangan rupa
anak, media, kesempatan, emosi/jiwa) dan proses saat berkreasi (gembira,
menjiwai, menikmati). Anak yang suka mewarnai saja belum tentu tak bisa
menggambar. Hanya saja kesempatan menggambar yang diberikan kurang atau bahkan
dihambat. Misalnya, hanya menyediakan buku mewarnai ketimbang memotivasi anak
untuk menggambar. Apalagi bila pujian hanya muncul jika ia berhasil mewarnai
dengan rapi tanpa melihat pentingnya kemampuan berimajinasi. Hal tersebut akan
semakin menjauhi keinginannya untuk menggambar.
Sebetulnya, menggambar maupun mewarnai merupakan bahasa rupa
anak. Sama-sama merupakan sebuah hasil bereksperimen, pembelajaran, dan penghayatan
yang berbuah kreasi. Itulah yang terjadi saat anak menggambar maupun mewarnai
dimana anak belajar melalui bermain. Baik menggambar ataupun mewarnai, keduanya
dapat meningkatkan kemampuan otak kanan, yang berkaitan dengan berekspresi dan
berkesenian.
Sering kali kemampuan ini kurang
diperoleh dari pelajaran di sekolah yang lebih cenderung menekankan pentingnya
otak kiri (menghafal, mengingat). Orangtua maupun pendidik hendaknya menyadari,
bahwa Tuhan telah menciptakan otak begitu sempurna dengan dua belahan
(hemisfer) kiri dan kanan. Marilah, mulai menstimulasi "seluruh otak"
anak baik pikiran dan perasaannya dengan merangsang kreativitasnya.
sumber
: www.tabloid-nakita.com
Komentar
Posting Komentar